Pendahuluan
Pada bidang pertanian dalam
sejarah secara optimis dapat dikatakan bahwa pertanian mampu untuk melestarikan
dan mengingkatkan sumber daya. Akan tetapi, pada satu sisi dalam sejarah dan
perkembangan pertanian di Indonesia menunjukan adanya pengelolaan yang kurang
memperhatikan konsep “keberlanjutan”. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya kepadatan
populasi yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga akhirnya
mereka memanfaatkan sumber daya yang ada dengan seoptimal mungkin atau yang
disebut dengan tragedy open access. Tragedy open access ini menyebabkan
kerusakan terhadap sumber daya secara berlebih (David: 2008).
Fenomena tersebut tanpa
disadari juga terjadi pada sistem pertanian di Indonesia, di mana semenjak
adanya kebijakan revolusi hijau. Salah
satu bentuk kebijakan revolusi hijau pada bidang agrikultur ialah mengenai anjuran
penaman padi dua kali dalam satu tahun, selain itu ditambah dengan sistem
penggunaan pupuk dan pestisida berbahan kimia. Revolusi hijau ini merupakan
bagaimana implementasi dari pengetahuan ilmiah ini memproduksi hasil panen yang
tinggi dalam mengembangkan variasi tanaman lokal dengan level infrastruktur
yang tinggi (canggih), berstandar, dan mengontrol lingkungan dengan eksternal
input. Sebagai contoh ialah ketika pertanian sawah, peningkatan disparitas
antara kaya dan miskin, perluasan konsentrasi kepemilikan lahan, mengganti
tenaga perempuan dan laki dengan teknologi dan mengganti sistem tradisional
irigasi dengan teknik modern dengan variasi pertanian, berkurangnya pertanian
yang bersifat organik, munculnya banyak hama dan pemakaian pestisida. Contoh
lainnya ialah mengenai pengetahuan lokal yang sering diabaikan dalam
penyelesaian masalah, hal ini karena pengetahuan tersebut sering kali dianggap
sebagai pengetahuan yang terbelakang. Dengan demikian setiap penyelesaian
masalah lingkungan digunakanlah science. Padahal
petani dan khususnya petani perempuan mempunyai pengetahuan dalam mengatur
hubungan manusia dengan alam.
Eksploitasi terhadap tanah
dengan cara penanaman secara terus-menerus dengan tidak memperhatikan unsur
hara menunjukkan adanya ketidakberlanjutan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya. Meskipun demikian, masih ada beberapa masyarakat petani yang
memperhatikan sistem pertanian yang menggunakan konsep keberlanjutan[1], seperti
masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih.
Masyarakat Kasepuhan Pasir
Eurih memiliki tugas pokok yaitu mengurusi masalah pertanian. Selain itu,
pertanian menjadi sumber utama kehidupan masyarakat adat kasepuhan terutama
bercocok tanam padi di sawah dan kebun. Sistem pertanian masih memperhatikan
adanya kebutuhan masa depan, seperti sistem pertanian dalam pare gede .[2] Sistem
pengelolaan pare gede dalam proses pemanenan dan penamanannya hanya
dilakukan satu kali dalam satu tahun. Sistem ini masih dilakukan oleh mereka
yang masuk dalam keturunan pagawe [pegawai]
kasepuhan. Para pagawe ini terbagi ke
dalam dua bagian. Pagewa jero atau pegawai inti kasepuhan yang tugasnya
mewakili pemimpin kasepuhan dalam menghadiri acara atau undangan di luar
daerah. yang kedua disebut pagawe luar, bertugas membantu kasepuhan
dalam rangkaian adat dan membantu kasepuhan dalam rumah tangga kasepuhan. Baik pagawe
jero maupun pagawe luar keduanya tidak dipilih oleh kasepuhan,
melainkan tugas yang sudah diturunkan secara turun-temurun. Tugas pegawai
kasepuhan yang turun-termurun dilaksanakan sejak Kasepuhan Pasir Eurih berdiri.
Sistem penugasan yang tertutup, memperkuat ikatan kekeluargaan di lingkungan
kasepuhan, juga menanamkan pelestarian budaya kepada keturunan anak cucu,
sesuai dengan tugas kasepuhan Pasir Eurih nyayak
incu putu. Tidak ada pengajian khusus seperti pegawai lainnya.
Tulisan ini merupakan cerita salah satu
kehidupan seorang istri pagawe kasepuhan dalam menjaga varietas pare
gede dengan pengetahuan dan
pengalaman yang dia miliki. Secara struktur kasepuhan bahwa pagawe
kasepuhan dapat digolongkan sebagai kaum elit, namun tidak secara perekonomian
mereka. Pada titik inilah kita dapat melihat bagaimana daya juang seorang istri
pegawai kasepuhan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan tetap berusaha untuk
menjaga varietas padi dan sistem pertaniannya.
Kasepuhan Pasir Eurih
Kasepuhan
Pasir Eurih terletak di dalam wilayah administrasi Desa Sindanglaya, Kecamatan
Sobang, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Topografi Desa Sindanglaya ialah
pegunungan dan berbukit-bukit, dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah
Utara: Desa Hariang Kecamatan Sobang; sebelah Barat: Desa Sukajaya dan
Sinarjaya Kecamatan Sobang, sebelah Timur: Desa Sukaresmi Kecamatan Sobang,
sebelah Selatan: Desa Cirompang
Kecamatan Sobang. Jumlah penduduk berdasarkan data profil Desa
Sindanglaya tahun 2017 ialah 3.136 Jiwa, dengan jumlah kepala keluarga (KK) 956
KK, di mana jumlah laki-laki ialah 1. 592 jiwa dan perempuan 1.544 jiwa. [3]
Masyoritas penduduk Kasepuhan
Pasir Eurih beragama Islam. Meskipun demikian, mereka tetap melaksanakan adat
istiadat nenek moyang mereka (tatali paranti karuhun) yang merupakan
pedoman hidup utama sebagai keturunan pancer pengawinan.[4] Pedoman
hidup tersebut tidak lain berfungsi sebagai pembimbing warga kasepuhan dalam
mencapai ketentraman hidup sehingga terlepas dan hukuman nenek moyang karena
pelanggaran atas tabu.
Kasepuhan Pasir Eurih mempunyai
kelembagaan adat yang dipimpin oleh seorang kepala adat atau yang mereka sebut
dengan Abah. Abah (Pupuhu) kasepuhan merupakan sebagai kepala adat kasepuhan
berperan sebagai penanggung jawab atas segala urusan yang dititipkan oleh
karuhun dalam melayani kepentingan incu putu menuju keselamatan dunia dan
akhirat. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai ketua adat kasepuhan Abah dibantu oleh Baris Kolot[5].
Selain terkait kelembagaan adat
yang hingga saat ini masih mereka dipegang, Kasepuhan Pasir Eurih juga memegang
tugas pokok mengenai pertanian. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis Desa
Sindanglaya yang mempunyai potensi yang tinggi pada bidang pertanian. Luas
lahan yang digunakan untuk penanaman padi sekitar 575 Ha dan untuk luas lahan
sistem perladangan ialah 13 Ha. Pertanian menjadi salah satu mata pencaharian
utama masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih. Hal ini sesuai dengan tugas dari
kasepuhan untuk mengurusi masalah tatanen. Berdasarkan data profil Desa
Sindanglaya tahun 2017, jumlah petani laki-laki 681 orang dan perempuan 431 orang, sedangkan jumlah
buruh tani laki-laki 340 orang dan buruh perempuan 285 orang.
Tradisi pertanian dilakukan
dengan ragam upacara yang mereka miliki dan hingga saat ini masih dipertahankan
ialah asup leuweung, ngaseuk di huma gebrugan, tradisi tandur, mapang pare beukah,
ngunyal, ngadiukeun, dll), tradisi ngawue bubur di buruan, seren
tahun, tradisi ngasah perkakas/perabot benda-benda pusaka, tradisi opat
belasan, ngajiwa dan sebagainya. Memanfaatkan alam secara bijaksana
adalah ajaran serta keyakinan yang telah diwariskan secara turun temurun hal
ini tercermin dari proses pengelolaan lahan.
Nining seorang istri Palu[6] Kasepuhan Pasir Eurih
Nining merupakan satu dari
beberapa perempuan yang menjadi istri seorang Palu (Panasehat) Kasepuhan Pasir
Eurih. Ia berusia 38 tahun dan berasal
dari Kampung Sindanglayung,[7] Desa
Sindanglaya. Ia menikah setalah lulus SD dan kemudian tinggal bersama suami di
Kasepuhan Pasir Eurih. Dia mempunyai dua orang anak laki-laki, anak pertama
sudah menikah dan tinggal di Jakarta bersama istrinya, sedangkan anak kedua
masih sekolah kelas 2 SMP dan tinggal bersama mereka. Nining merupakan salah satu
contoh perempuan pejuang pangan Kasepuhan Pasir Eurih.
Kesehariannya sebagai seorang
istri Palu membuat ia seringkali terlibat dalam kegiatan di kasepuhan, seperti
membantu proses memasak dan menumbuk padi pada saat acara-acara tertentu di
Kasepuhan. Selain
keterlibatannya dalam beberapa kegiatan di kasepuhan, Nining sebagaimana
perempuan-perempuan Desa Sindanglaya bekerja sebagai petani. Dia dan suami mempunyai beberapa petak sawah
dan kebun, di mana sawah yang mereka kelola merupakan pare gede dan kebun mereka
tanam dengan Kopi, Coklat dan beberapa pohon Afrika.[8] Menurut Nining, ia
lebih sering mengelola sawah dan kebun dibandingkan dengan suaminya, hal ini karena
suaminya lebih
banyak mengurusi pekerjaan di kasepuhan. Selain mengurusi kebun dan sawah yang
dimiliki ia juga bekerja di sawah dan kebun milik orang lain. Bekerja di sawah dan kebun orang lain menurut
ia tidak jauh berbeda dengan mengarap sawah/kebun ia sendiri, yang membedakan
hanyalah jenis padi yang ditaman oleh masyarakat. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa tidak ada pengalaman lain selain
mengurus pekerjaan di kebun dan sawah, hal ini karena menurut dia setalah lulus
SD dia langsung menikah dan tidak sempat untuk pergi kemana-mana. Sebagaimana
yang dituturkan olehnya;
“Ibu cuman bantu
di sawah sama di kebon [kebun] aja, panen kopi, kalau kayu gede ditebang dijual
semuanya. Dagang gak bisa karena gak
biasa, gak punya modal juga. Cuman gitu
doang ke kebon ke sawah jadi kuli, seharian Rp. 50.000 pagi-sampai sore,
dikasih makan. Kalau ada yang nyuruh itu sering kalau gak ada mah ya gak ada.”
Semua pekerjaan yang terkait
dengan sawah dan kebun turut ia kerjakan. Menurutnya selama ia mampu mengerjakan
maka akan dikerjakan.
“Ngoret, ngoyos, panen ikut panen
sampai sawah yang jauh-jauh kalau gak sakit mah, kalau dapet 5 karung urang mah
dikasih 2 karung. orang yang punya dikasih 3 karung, kita yang bantu dapet 2
karung. Kalau saudara yang punya sawahnya kita suka dikasih 3 atau 4 gitu.”
“Kalau gak musim
di sawah, cuman ke kebon doang, nungguin hasil padi. Paling nanem sayuran
dikebon, kalau nanem singkong dimakan sama babi, kan susah (tertawa), hadeh di kampung juga makan
singkong susah.”
Dibalik keresahan yang
dialaminya, ia bersyukur karena biaya sekolah tidak dibebankan sepenuhnya pada
orang tua, ada program sekolah gratis yang bisa diikuti oleh anaknya.
“Ini aja untungnya Arif sekolahnya geratis, minta uang paling untuk
iuran kalau ada kerja kelompok, jajan sehari-hari”
Sebagai keluarga pagawe
kasepuhan, Nining dan
keluarga pun mengikuti aturan adat
pengelolaan lahan pertanian mereka. Aturan tersebut ialah sawah yang mereka
miliki harus ditanam dengan pare gede dan dengan sistem satu kali panen dalam satu
tahun.[9] Hal ini
berbeda dengan masyarakat Desa Sindanglaya pada umumnya, dimana sawah mereka
dapat menggunakan sistem dua kali panen dalam satu tahun dan diperbolehkan
melakukan penanaman selain pare gede ,
yakni pare leutik.[10] Menurut
Abah Maman,[11]
sistem ini diberlakukan oleh Kasepuhan dengan tujuan untuk menanam padi sawah untuk tambahan kebutuhan
ekonomi sehari-hari penduduk. Akan
tetapi, masyarakat berkewajiban untuk membantu menanam padi huma milik kasepuhan, yang hasilnya
nanti dinikmati bersama saat helatan Seren Taun.[12]
Tuntutan ekonomi yang tidak bisa dipenuhi hanya dengan mengandalkan padi huma, membuat kasepuhan melonggarkan
aturan adat guna menyesuaikan dengan kondisi zaman. Hanya kasepuhan yang
menanaman padi satu tahun sekali, masyarakat lainnya menanam padi sawah dua
tahun sekali sesuai dengan yang diprogramkan oleh pemerintah sejak tahun 1986
pada masa Pemerintahan Soeharto.
Program pemerintah
tersebut tidak terlepas dari adanya sebuah revolusi besar-besaran pada bidang
Agraria. Secara umum revolusi tersebut dikenal dengan istilah revolusi hujau yang mulai
dikenalkan Indonesia di Tanun 1960-an. Suatu porgam intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras.
Program ini mengenalkan dan meluaskan penggunaan teknologi baru dalam teknik
bertani. Sejak awal, tujuan program ini
adalah meningkatkan produksi beras secara luar biasa, tanpa mengubah bangunan
sosial pedesaan (Fauzi, 164: 1999).
Revolusi hijau telah membawa
dunia pertanian ke era yang berbeda. Bibit-bibit unggul ditemukan dan dijadikan
andalan pertanian, bahan-bahan kimia digunakan untuk memerangi hama. Semua itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang semakin meningkat dan banyak pemimpin dunia meyakini bahwa permasalahan
kekurangan pangan bahkan kelaparan pangan sudah teratasi dengan kebijakan ini.
Namun beberapa dekade kemudian,
sisi negatif revolusi
hijau tersebut mulai terlihat. Petani harus tergantung pada asupan-asupan benih
luar. Hal
inilah yang dialami oleh sebgian besar masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih yang harus mendapatkan benih, pupuk dan
pestisida kimia tersebut dengan cara membeli.
Menurut Nining asupan benih padi luar dapat dicegah dengan adanya
tetap mempertahankan benih padi lokal yaitu pare
gede . Benih
juga sering disimbolkan dengan Dewi Sri (Dewi; padi) atau simbol perempuan. Hal ini lebih memberikan makna bahwa
benih adalah sumber kehidupan.
Dalam realitas kehidupan petani,
pengelola benih adalah perempuan. Dari mulai panen dari lahan, pengeringan, penyimpanan, pengolahan
dan penjualannya pada umumnya dilakukan oleh perempuan, sehingga ketika petani
tidak lagi mempuntai benih, perempuan kehilangan sumber kehidupan dan
ekonominya (Sasanti dkk, 2006: 15). Nining merupakan salah satu perempuan Kasepuhan yang menjadi pintu penjaga
varietas pare gede . Dia dan beberapa orang Kasepuhan masih
mempertahankan penaman padi lokal, meskipun mereka dalam proses pengelolaannya
sudah menggunakan pupuk-pupuk kimia. Menurut penuturan Nining sejak tahun
2000-an pupuk itu sudah lama mereka gunakan.
Daya Juang Nining
Nining yang secara keseharian
diberi tanggung jawab mengurus kebutuhan pangan keluarga, menurutnya sistem
pertanian panen satu tahun sekali ini tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
mereka sehari-hari, sehingga seringkali ia bekerja serabutan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Nining melakukan beberapa pekerjaan yang secara umum
dilakukan oleh perempuan Sindanglaya, seperti menjadi buruh tani di sawah dan kebun
orang untuk menopang kehidupannya, seperti menjadi kuli ngaseuk[13],
ngored/ngarorok,[14] Ngubaran[15],
Ngaramas [16],
Mapag pare beukah[17],
Mipit /dibuat[18],
dll. Kesemua itu ia
lakukan karena terkait sistem pertanian ini merupakan pengetahuan yang mereka
peroleh karena adanya interaksi perempuan yang intensif dengan alam. Seperti yang disebut oleh Warren, perempuan
dan alam merupakan twin domination. Selain itu, pengetahuan petani perempuan juga berdasarkan kontruksi budaya yaitu
berdasarkan pengalaman dari interaksi manusia dengan lingkungnya. Model
pengetahuan berdasarkan konstruksi budaya ini, memandang individu yang
terkait dengan pertanian, dimana si individu ini memiliki interpretasi yang berbeda terhadap
cara untuk menangani masalah pertanian mereka (Yunita:2004).
Perempuan memiliki posisi
penting dalam pertanian. Perempuanlah yang bertugas memilihara dan menyimpan
benih. Di negara-negara berkembang, kebanyakan petani adalah perempuan. Mereka
adalah produsen makanan pokok semisal jagung, beras, gandum dan lainnya. Mereka
memproduksi 80% dari bahkan pokok dunia, terlebih di Asia Tenggara, perempuan
melakukan 90% proses produksi bahan pokok, dan lebih besar lagi pada bahan pangan
tambahan seperti buah-buahan dan
sayur-sayuran. Di Asia dan Afrika, perempyan bekerja 13 jam lebih banyak dibandingkan kaum pria (Surono dan Witoro,
2006: 17).
Bagi Nining sebagai istri Palu, dimana suaminya harus mengabdi dan
bekerja kepada kasepuhan yang
berkonsekwensi pada berkurangnya waktu bekerja di luar Kasepuhan. Alhasil suaminya hanya dapat bekerja secara produktif
yang dapat menghasilkan uang jika tidak ada kegiatan di Kasepuhan. Berdasarkan
penuturan Nining, suaminya bekerja sebagai penumbuk batu
dengan penghasilan tidak menentu, karena tidak setiap hari pekerjaan itu
menghampiri dirinya. Selain sebagai penumbuk batu, ia juga melakukan pekerjaan
di kebun yaitu mengelola kopi, kolang-kaling dan pohon afrika, serta mencari
injuk[19].
“Sehari dapet
seratus ribu [Rp. 100.000], Satu kubik itu harganya lima puluh ribu [Rp.
50.000], kadang dapet dua kadang dapet tiga.”
“Injuk, nyari injuk, punya sedikit yang suka
nyari bapak, kalau satu biji seribu [Rp.1.000,-]. Satu kakap seribu
[Rp.1.000,-] satu lonjor. seharian dapet seratus, dapet sertus mapuluh, kalau
dapet banyak, banyak duitnya.”
Untuk itulah Nining memutuskan tidak hanya bekerja
di ranah reproduksi melainkan di ranah produksi. Meskipun kita mengetahui bahwa pekerjaan
dalam ranah reproduksi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Pekerjaan rumah tangga yang
dilakukan oleh perempuan sangat menguras tenaga dan waktu (Kesselmen dalam Khanifah, 2012: 129). Charlotte Perkins menyatakan
peran perempuan dalam ranah domestik sangat promblematik dan tidak ada jaminan serta penghargaan dalam materi (Khanifah, 2012: 129-130).
Nining memanfaatkan pekarangan
rumah dan lahan yang masih tersisa di kebun untuk ditanamin beberapa jenis sayuran seperti
mentimun dan bawang merah, kencur. Hasil tanaman ini tidak untuk dijual,
melainkan untuk kebutuhan setiap harinya. Pengetahuan yang dimiliki oleh Nining dalam memanfaatkan sumber
daya alam merupakan suatu pengetahuan (knowledges)
yang dijadikan pedoman dalam bertindak. Di mana pada dasarnya pengetahuan
merupakan bagiamana peristiwa tertentu, tindakan dan interaksi berada diantara
produk pengetahuan aktor tertentu dan pengaruh agregat perilaku.
Tunduk pada Aturan Adat
Nining mendapatkan pengetahuan
mengelola dan mengolah lahan ini dari orang tuanya dengan aturan adat yang ia
anut sejak lahir. Selain itu, ia juga belajar dari orang tua suaminya yang
secara garis keturunan menjadi pengikut kasepuhan atau yang disebut dengan incu
putu; [20]
masyarakat yang patuh serta taat
menjalankan tradisi yang telah diwariskan oleh para karuhun. Serta masih
memiliki perasaan bersama (kolektif) dalam menjalankan tradisi.
Nining mempercayai dengan adanya
aturan yang telah mengikat keluarga mereka, sebab pada satu peristiwa ia dan
keluarga mencoba melanggar aturan adat sistem pertanian satu kali panen dengan
sistem dua kali panen dalam satu tahun. Pelanggaran
tersebut membuat dirinya mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. Ia percaya bahwa ini merupakan bentuk kabendon/kualat atas pelanggaran aturan
adat yang telah ditetapkan. Hingga akhirnya
ia dan keluarga kembali lagi menjalankan sistem pertanian dari aturan adat kasepuhan.
Hal ini sebagaimana dalam pernyataan dari Danangjaja terkait Folk belief atau kepercayaan rakyat, bukan saja
kepercayaan (belief), melainkan juga kelakukan (behavior),
pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat dan biasanya
juga ungkapan serta saja (Brunvand dalam Danangjaja, 153: 2002). Folk belief menyangkut kepercayaan dan praktek
(kebiasaan). Pada umumnya diwariskan melalui tutur kata. Tutur kata ini
dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs)
atau sebab-sebab (causes), dan yang
diperkirakan akan ada akibatnya (result).
Folk belief ialah perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja yang
menyebabkan suatu “akibat” adalah yang kita sebut dengan ilmu ghaib atau magic (Danangjaja, 154: 2002).
Berdasarkan pengalaman yang Nining
rasakan saat menentang atauran mengenai sistem penanaman padi satu tahun dua
kali ia mengalami sakit keras dan tidak bisa diobati. Pengalaman ini dia
rasakan saat ia sudah mempunyai anak pertama.
“Gak diizinin
nanem pare kecil, pernah nyoba, langsung ibu sakit gak bisa diobatin, katanya
obatnya gitu jangan namanem padi satu tahun dua kali katanya.”
Hal di atas merupakan
pernyataan dari Nining, namun
saat ditanya alasan mengapa tidak boleh menanam pare kecil, dia tidak dapat
mengutarakan pernyataannya. Ia hanya dapat mengatakan bahwa semuanya itu sudah
menjadi ‘patokan’ aturan dari kasepuhan. Sebagaimana yang dinyatakan nalar posmodernitas Foucault adalah bangunan konsepsinya
tentang kekuasaan. Kekuasaan selama ini
direpresentasikan secara objektif sebagai bentuk intensif karena ada relasi
yang bersifat top-down atau eksploitatif. Menurut Foucault kekuasaan
menjadi sebuah tindakan-tindakan konkrit yang menciptakan realitas dan
memproduksi pengetahuan dan menentukan tolok ukur kebenaran. Selain sebagai
kepercayaan mereka, namun dalam kasus
ini dapat dilihat bahwa terdapat relasi kuasa antara kasepuhan dengan incu
putu.
Kesimpulan
Penanaman padi huma oleh masyarakat kasepuhan,
merupakan salah satu tolak ukur kepatuhan masyarakat terhadap tradisi yang
sudah ada serta bertujuan untuk keseimbangan ekologi alam tetap menjadi
perhatian kasepuhan. Petani khususnya perempuan pencipta solusi mereka sendiri,
bukan hanya pengadopsi dari aturan yang sudah ada, melainkan mereka adalah
peneliti dan inovator yang aktif strategising dan terus memproses,
menilai, dan menggabungkan informasi, termasuk informasi dari sumber
eksternal-untuk memenuhi kebutuhan mereka dan kondisi yang ada dengan segala
juang yang mereka lakukan. Karena sumber daya individu, strategi produksi, dan
pengalaman bervariasi, ada bukti variasi antar komunitas dalam menanggapi
intervensi dari luar. Sehingga sistem pertanian dan perekonomian mereka
pertahankan dengan adanya sistem keberlanjutan untuk penghidupan mereka di masa
depan melalui pengetahuan dan pengalaman.
Di dalam pengelolaan pertanian
tradisional telah memiliki pengalaman yang berharga bagi masyarakat untuk menekuni sistem pertanian yang
ramah terhadap lingkungan.
Sistem pertanian ini menganut asa keberlanjutan yang tidak lepas dari upaya
untuk selalu menjaga kelestarian ekosistem dan interaksi antar
mahkluk hidup. Hal ini menjadikan tanah senantiasa subur karena tidak ada eksploitasi unsur
hara serta adanya ketersediaan air yang mencukupi. Benih merupakan sumber kehidupan sehingga selalu diupayakan terus tersedia di tingkat petani.
Pengetahuan merawat padi merupakan pengetahuan secara turun temurun sejak nenek
moyang dimana petani perempuan membiasakan diri untuk merawat benih agar bisa
ditanam dikemudian hari. Hal-hal inilah yang terjadi di Kasepuhan Pasir Eurih. Dan untuk menjaga keberlanjutan pengetahuan tersebut, sudah sepatutnya
ditunjang dan dilindungi oleh kebijakan negara, mulai di tingkat desa, daerah
hingga pusat. Pengetahuan dan peran bu
Nining - “sang penjaga varietas Pare Gede”
- dan perempuan adat/lokal lainnya menjadi modal penting untuk meningkatkan
sinergitas hubungan antara masyarakat dan pemeritah dalam pengelolaan
pertanian, khususnya padi lokal.
Referensi:
Danangjaja. 2002. Foklor Indonesia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa (Dinamika Perjalanan
Politik Agraria Indonesia). INSiST, KPA bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR:
Yogyakarta
Henley, David (2008) “Natural Resource Management: Historical
Lessons from Indonesia,” Human Ecologly36: 237-290.
Khanifah. 2012. Siapakah Agen Ekonomi?. Jurnal Perempuan: Jakarta Selatan.
Sasanti dkk. 2006. Kembalinya Hak Petani Atas Benih Padi. Gita Pertiwi: Solo.
Surono Indro dan Wiroto. 2006. Kedaulatan
Pangan: Perjuangan rakyat mewujudkan hak pangan. KRKP: Bogor.
Winarto, T. Yunita. 2004.
The Seeds of Knowledge: The Beginnings of Integrated Pest Management
in Java, pp xii-xiii. Yale University Press (Southeast Asian Studies
Monograph No 53.) New Haven.
(Tulisan ini merupakan salah satu dari tulisan kompilasi Tutur Perempuan Halimun yang digagas oleh Rimbauan Muda Indonesia, dan sebagai editor ialah Nia Ramdhaniaty)
[1] Akan tetapi pada satu
sisi juga diakui bahwa mereka menjaga pertanian mereka dengan pola-pola
tradisional namun pada satu sisi mereka sudah menggunakan pupuk kimia.
[2] Pare Gede merupakan padi lokal yang mempunyai beberapa macam
varietas diantaranya ialah Rajawesi, Ganteng, Jogja, Kui, Seksek,
Srikuning, Kawung, Rajawesi Leneng, Ketan Odeng,Ketan Langansari, Ketan Bebek,
Ketan Langasari, Ketan Bebek, Ketan Amon, Ketan Gadog, Cere Menteng, Cere
Mariren, Cere Belut, Markoti, Cere Loyang,Markoti dan Pare Siem. Sedangkan
Jenis Pare Huma adalah Pare Limar, Mara, Kiara,dan Pare Ketan Gintung
(Merupakan hasil wawancara dengan Abah Maman; April 2017)
[3] Data
terkait Desa Sindanglaya ini diperoleh dari file Profil Desa Sindanglaya 2017
yang merupakan data Kantor Desa Sindanglaya.
[4]
Dalam bahasa Sunda, kata pancer berarti lulugu (asal-usul atau sumber).
Kata pengawinan di kalangan warga Kasepuhan memiliki makna yang lebih luas,
yang berhubungan erat dengan barisan pengawinan yaitu pasukan khusus Kerjanan
Sunda yang bersenjatakan tombak. di kalangan warga kasepuhan kata pangawinan
mempunyai arti simbolis. Kata kawin bagi mereka adalah mempersatukan
makrokosmos dan mikrokosmos untuk mencapai kesatuan hiduap, terungkap dalam
ungkapan titu sapamulu, daua sakarupa Hiji eta Kaneh,’ berarti tiga sewajah, dua
seupa, satu yang itu juga. Ungkapan yang menyatakan bahwa sekaligus
terdapat keinginan, sikap dan sifat,
pada hakikatnya manusia berasal dari sumber yang satu, yaitu Yang Mahakuasa. Sebagai keturunan Pancer pangawinan mereka
memiliki doktrin yang mereka anggap
sebagai petunjuk gaib (wangsit) yang diungkapkan dengan kata-kata sing saha nu
bisa ngawinkuen langit jeung bumi, manusia jeung kamanusana, eta nu disebut
pancer pangawinan barang siapa yang mampu mengawinkan bumi dengan langit,
manusia dengan kemanusiaannya, itulah namanya pancer pangawinan.
[5] Baris Kolot terdiri
dari Palu, Lanjer, Juru Serat/Surat, Juru Basa, Juru Masak, Canoli, Lukun
dan Ronda Kokolot.
[6]
Palu merupakan baris kolot yang mempunyai tugas untuk mempertimbangkan keputusan sekaligus
memberikan masukan kepada Abah sebagai ketua kasepuhan sehingga setiap
keputusan harus diketahui. Penasehat kasepuhan ini juga disebut sebagai pokok
pagawe kasepuhan karena fungsinya sebagai pengingat bagi orang-orang kasepuhan
yang melanggar aturan adat. Selain itu, jika ada acara seren taun, maka dia
juga berkewajiban untuk mengatur dan meningatkan keperluan dari acara tersebut.
Untuk
menjadi Palu ini berdasarkan garis keturunan yaitu diwariskan secara
turun-temurun dan berdasarkan kesepakatan kasepuhan. Saat ini Palu/penasehat
Kasepuhan Pasir Eurih ialah Pak Maradhi.
[8]
Pada penelitian ini tidak terdapat informasi
terkait kepemilikin sawah dan kebun yang mereka kelola.
[9] Sistem pare gede ini
telah menggunkan pupuk kimia seperti Urea dan TS.
[10] Padi kecil atau yang disebut dengan pare
letik merupakan padi yang diprogramkan oleh pemerintah untuk peningkatan
produksi padi. Misal panen pertahun 5000 ton dapat meningkat menjadi 7000-1000
ton. Jenis varietas pare letik ini ialah
ciherang, Ip 2, Mikonggga, Ir 64, Situgendit. Menurut Mantri Tani Desa
Sindanglaya (Nurhayati) tidak hanya jenis padi yang diserantakkan untuk ditanam
melainkan juga cara penanaman atau yang disebut dengan sistem Jajar Legowo
dengan tujuan meningkatkan produktivitas padi.
[11] Abah Maman merupakan
seorang yang sebenarnya menjadi pemegang Kasepuhan Pasir Eurih, namun saat
usianya masih kecil dan ayahnya telah meninggal maka posisinya digantikan sementara
oleh anak angkat dari kakeknya yaitu Abah Aden yang saat ini memimpin Kasepuhan
Pasir Eurih
[12] Seren Taun atau pesta
panen merupakan ritual yang dilakukan selama satu tahun sekali. Makna seren taun adalah berserah diri kepada
yang maha kuasa atas hasil panen yang
telah didapat. Ritual seren taun pun merupakan ajang silaturahmi terutama bagi
mereka para pengikut (Incuputu) kepada
kasepuhan. Hal ini merupakan perwujudan dari makna “ Muncang Rubuh Ka Canirna, Kebo Balik ka Kandangna anak balik ka kolotna. Sedangkan makna
syukur bukan hanya pada sangpencipta namun menghormati alam semesta yang telah
dikelola sebagai sumber kehidupan yang dikenal dengan lukun tujuh yaitu
penobatan terhadap Indung Anu Teu Ngandung, Bapa Anu Teu Ngayuga memaknai bumi
sebagai ibu serta langit sebagai bapa.
[13]
Ngaseuk: Melakukan penanaman
[14]
Ngored: Melakukan perawatan untuk pembersihan
[15] Ngubaran:
Sri Sakti Manusa Nu kumawasa adalah ritual untuk mengobati tanaman
[16] Ngaramas:
Melakukan pembersihan yang kedua
[17] Mapag
pare beukah: Ritual untuk memohon agar tanaman hasilnya bagus
[20] Sebaran incu putu didasarkan pada dua aspek
yaitu berdasarkan pada hubungan keturunan (genologis) dan Incu Putu yang
menetap di wilayah kasepuhan.