PENDAHULUAN
Masayarakat bilingual sering kali menggunakan bahasa
lebih dari satu bahasa dalam kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi antara
satu dengan yang lainnya, dimana biasanya dengan menggunakan dua kemapuan
bahasa oleh penutur itu. Pada hakikatnya bahasa mempunyai fungsi tersendiri
sesuai dengan situasi yang melatarbelakanginya. Pertukaran pemakaian bahasa
dapat menimbulkan gangguan komunikasi. Maksudnya pemakaian bahasa disesuaikan
dengan tuntutan ragamnya. Pada situasi resmi seseorang diharapkan dapat
menggunakan bahasa dalam ragam formal, sebaliknya pada situasi yang akrab
seseorang selayaknya menggunakan bahasa dalam ragam informal (Ali, 1989 : 82). Dengan adanya banyaknya interaksi yang ditimbulkan, makatercermin dalam hal
pemilihan dan penggunaan bahasa yang tak hanya satu bahasa atau ragam. Sehingga
berakibat lebih jauh digunakannya lebih dari satu bahasa atauragam adalah
munculnya fenomena alih kode setiap ujaran yang dikerlaurkan.Alih kode
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual.
Sebagaimana alih kode yang terjadi pada transaksi tersebut dapat dilihat berdasarkan
arahnya. Dari sudut arah, alih kode dapat berupa bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa atau sebaliknya, dapat juga terjadi dari ragam bahasa Jawa antara ngoko ke
krama atau sebaliknya. Sebagaimana dengan pendapat Suwito bahwa alih kode
adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, umpamanya
dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, dari bahasa Indonesia ke bahasa asing
(Suwirto, 1985: 68). Beralih kode pada saat-saat yang dibutuhkan adalah
alternatif yang sangat baik, karena dapat mendukung fungsi masing-masing bahasa
sesuai dengan konteksnnya.
Tulisan ini mengacu pada batasan mengenai
kesepakatan sewa angkutan umum 112 yang dihasilkan pada percakapan di Kober,
dalam percakapan ini terdapat suatu proses tawar-menawar yang sangat panjang
hingga akhirnya menemui titik kesepakatan bersama. Dengan demikian batasan
pembicaraan tentang alih kode dalam penulisan ini adalah pada wacana mengenai
proses kesepakatan sewa angkutan umum 112 di Jalan Raya Kober. Sehingga dalam
tulisan ini akan mencoba memberikan
deskripsi alih kode dan penyeab terjadinya alih kode serta fungsi penggunaan
dari alih kode, yang terjadi dalam
peristiwa ujaran mengenai tawa-menawar sewa
angkutan umum (angkot) 112 di Kober.
PEMBAHASAN
Peristiwa
ujaran pada proses tawar menawar sewa angkot 112 di Jalan Raya Koberpada
tanggal 04 Juni 2014 sekitar pukul 16.45 WIB, untuk acara Devisi Sosial
Masyarakat Himpunan Mahasiswa Antropologi Sosial 2014. Lokasi ini berada di jalan Raya Kober Depok
sebagai akses perjalanan untuk menuju ke Kota Depok. Pada lokasi ini sering
kali angkutan umum berhenti untuk menunggu penumpang yang akan naik angkutan
dengan beberapa tujuan misalkan ke arah Pasar Minggu dengan mengggunakan
angkutan umum 04 warna coklat putih, arah Pall Depok dengan menggunakan D11
warna biru, selanjutnya arah Kampung Rambutan angkutan umum 112 warna biru hal
ini begitu juga dengan arah baliknya untuk menuju Depok dengan menggunakan
angkutan yang sama. Suasana yang dapat kita rasakan apabila berada dalam lokasi
ini adalah suara bising angkutan umum, kendaraan-kendaraan pribadi ditambah
lagi dengan suara-suara para sopir angkot untuk mengundang penumpangnya. Misalnya
seperti “Pall-Pall, ayoo mbk” salah
satu sopir angkutan umum yang terdengar sangat keras ditelinga saya. Namun tidak semua sopir angkot menggunakan
suatu ujaran bahasa ataupun ragam yang sama, karena mereka mempunyai latar
belakang etnis yang berbeda, ada yang dari Batak, Sunda, Jawa, Tegal dsb.
Sebagaimana yang saya temukan dalam peristiwa ujaran oleh dua supir Jawa pada angkutan umum 112. Pada saat percakapan
berlangsung mengalami terjadinya alih kode yang muncul dalam peristiwa ujaran
ini. Baik yang saya ucapkan ataupun yang di ungkapkan oleh supir angkutan.
Alih kode bahasa Indonesia ke
Bahasa Jawa
Berawal pada saat pertama kali saya menemukan
peristiwa ujaran ini adalah saat saya dan teman saya (Sindi) selesai melakukan
kegiatan belajar mengajar di MI Arahman Kober, untuk kembali ke kampus (FISIP)
tentunya saya melewati Jalan Raya Kober. Sesampainya pada pinggiran jalan kami
bertemu dengan satu sopir angkutan umum yang sedang menunggu penumpang.
Kemudian Sindi akhirnya mengajukan diri untuk berbicara dengan sopir tersebut
untuk mengajukan tawar-menawar sewa angkutan umum. Pada awalnya Sindi melakukan
perbincangan tersebut dengan supir angkot dengan menggunakan bahasa Indonesia,
begitu sebaliknya supir angkot ini juga membalas percakapan dengan bahasa
Indonesia.Namun setelah beberapa berbincangan mereka berubah secara sekita
setelah satu teman supir angkutan ini datang yaitu Pak Narto. Pak Narto
merupakan teman satu kampung dengan sopir angkutan umum ini, kemudian mereka
bicara dengan menggunakan bahasa Jawa.Sebagaimana Menurut
Suwito (1985, 72 – 74) beberapa faktor penyebab alih kode antara lain penutur,
lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok pembicaraan, untuk membangkitkan rasa
humor dan sekedar untuk bergengsi. Hadirnya
orang ketiga ini membuat bahasa yang digunakan oleh sopir angkutan umum 1 yang
awalnya menggunakan bahasa Indonesia berubah menggunakan bahasa Jawa.Beikut
ini penggalan percakapan yang menurut saya menunculkan alih kode didalamnya.
Saya :
Biasanya kalau dari Depok ke TMII berapa
pak sewanya? Untuk dua angkot?
Tiba-tiba
datanglah teman sopir angkot tersebut.
Kemudian antar sopir angkot ini berdua ngobrol berdua dan percakapan saya
sejanak terhenti.
Supir angkot 1: “Iki lo
enek sing arep nyewo angkot, sok minggu ngarep, iso to?”
“Ini lo ada yang mau nyewa angkot, minggu
depan nanti, bisakan?”
Supir
angkot 2: “Iso, arep nang endi emang’e”
“Bisa,
mau kemana emangnya?”
Sementara
saya dan sindi hanya terdiam mendengarkan mereka bicara.
Supir
angkot 1:Nang TMII, sewo antar jemput
yaa? Matuk’e diregani piro?
“Ke TMII, sewa antar jemput ya? Enaknya
dihargain berapa?”
Suasana
bising kendaraan masih terdengar di telinga kami,
Supir
angkot 2: “400 ribu ya mbak pulang
pergi.”
Saya :
“Mboten sah larang-larang tow pak, niki
kagem bocah-bocah SD pak.”
“
Jangan Mahal-mahal pak, ini buat anak-anak SD apak.”
Supir
angkot 1: Ora larang ki dek, tanah wes regane. (terseyum kecil)
“ Enggak mahal ini dek, udah harganya.”
Penggalan percakapan di atas menampakkan peralihan kode
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
Dimana pada awalnya seorang sopir angkutan umum berbicara dengan
menggunkan bahasa Indonesia dengan saya, namun setelah bertemu dengan teman
sesama orang Jawa akhirnya dia menggunkan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan karena
memang kedua sopir angkot ini sudah tidak ada lagi jarak komunikasi yang
membatasi mereka. Demikian pula dengan saya yang ada pada saat perisitwa ujaran
itu terjadi, karena saya juga sebagai orang Jawa maka suapaya komunikasinya
tetap berjalan dengan baik dan proses penawarnya lebih mudah maka saya juga
menggunkan bahasa Jawa, dimana sebenarnya pada awal percakapan saya dengan supir
angkutan umum ini dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Alih Kode Bahasa pada tingkat tutur
(Ragam Jawa Ngoko ke Bahasa Ragam Jawa Kromo)
Penggunaan alih bahasa ini tidak hanya sebagai
sebatas bagaiamana bahasa itu digunakan dalam memudahkan berkomunikasi
melainkan dalam tatanan bahasa Jawa mempunyai fungsi yang berkaitan dengan tingkatan-tingkatan
sendiri dalam penuturan bahasa Jawa
tersebut. Menurut Poedjosoedarmo (1979) memaparkan batasan
tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Dalam penelitian ini beliau membicarakan
tentang sistem tingkat tutur, kosakata tingkat tutur, dan alih tingkat tutur
yang ada dalam bahasa Jawa khususnya bahasa Jawa dialek standar yang meliputi ngoko,
madya,dan kramayang masing-masing mempunyai
saat dan situasi pemakaian sendiri-sendiri, pada saat dan situasi. Selian
ituberkaitan dengan hal itu, maka wujud alih kode tidak hanya berupa bahasa
tetapi juga berupa tingkat tutur, misalnya, dari tingkat tutur ngoko ke
tingkat tutur krama; atau sebaliknya dari tingkat tutur krama ke
tingkat tutur ngoko.
Begitu halnya dengan saya saat melakukan ucapan
bahasa Jawa, tidak hanya sekedar berbicara melainkan dengan bahasa Jawa dengan
ragam bahasa Jawa Krama Lugu. Meskipun sebenarnya dalam tingkatan berbahasa
dengan orang yang lebih tua dalam tatanan bahasa Jawa harus menggunakan bahasa
Jawa Krama Alus, namun karena saya lumayan tidak menguasai ragam tersebut, maka
saya menggunakan bahasa krama alus dengan sopan kepada kedua supir angkot
tersebut. Penggalan percakapan saya dengan sopir angkutan umum,
Narto : (ketawa kecil), Piye mbk?
“Gimana mbk?”
Saya :”Mboten saget kirang meleh pak? Kan sami-sami
tiang Jawine niki. (senyum lebar) Pekaos mantuk-kundur enggeh pak kulo puron,
tapi mboten sah di tunggoni mawon, mengke nek wayahe’e mantuk, bapak saget
mendet teng mriko, tinggal janjian mawon pak.”
“Tidak bisa kurang
lagi pak? Kan sama-sama orang Jawa ini. (senyum lebar) Mengenai pulang-pergi
iya pak saya mau, tapi tidak usah ditungguin saja, nanti kalau udah waktunya
pulang, bapak bisa jemput kami disana, tinggal janjian aja pak.”
Hadi :
“Yoo wae, piye nak 200 ewu sak mobil engko diterne sek
mrono, sorene dijupuk rono yo?”
“Ya aja, gimana kalau
200 ribu satu mobil dianter kesana, sorenya dijemput kesana ya?”
Menurut
Holmes (dalam Komariah) alih kode dilatarbelakangin oleh solidaritas dan
identitas etnis. Seorang penutur biasanya beralih kode untuk mengungkapkan
solidaritas dan penguatan kesamaan identitas etnis dengan lawan bicara atau
partisipan-partisipan yang terlibat dalam sebuah interaksi bahasa (Komariah,
2011: 12). Hal ini sebagaimana dalam
peristiwa ujaran yang saya alami, dalam peristiwa ini menunjukan bahwa alih
kode selain sebagai suatu bahasa yang digunakan untuk memumudahkan proses
penawar juga sebagai penguat identitas etnis dari masing-masing individu hal
itulah hal yang saya rasakan serta hal yang sama di rasakan oleh supir angkot.
Ketika ia mengetahui saya orang Jawa dan berbahasa Jawa, dia terlihat menyambut
dengan hangat dan jelas telah memberikan keringan harga dari harga sewa awal
yang telah ditawarkan.
KESIMPULAN
Sebagai
bagian dari adanya pemahaman mengenai alih kode yang telah saya sebutkan dalam
beberapa tulisan yang saya sampaikan maka menurut saya dapat disimpulkan bahwa
alih
kode dalam peristiwa ujaransewa angkutan umum 112 di Jalan Raya kober ada duaMacam yaitu alih kode dalam wujud alih
bahasa yangberwujud alih bahasa meliputi alih kode dari bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa. Serta alih kode yang terjadi pada tingkattutur bahasa Jawa mencakupi alih kode tingkat tutur
ngoko ke kramo yang disampaikan oleh
supir angkot kepada saya dan Sindi. Dimana supir angkotnya menggunkan bahasa
Jawa ngoko kepada saya dan saya menggunakan bahasa Jawa krama lugu kepada supir
angkot. Sedangkan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya alih kode dalam peristiwa ujaran tersebut adalah
jual-beli di Pasar Johar Semarang ada delapan, faktor yaitu penyesuaian dengan
kode yang dipakai oleh supir angkot, kehadiran orang ketiga serta kesamaan
etnis. Terdapat beberapa fungsi alih kode dalam peristiwa ujaran ini antara
lain adalah mempermudah berkomunikasi dengan sesama etnis, mempermudah proses
penawaran. Selain itu adanya pelanggengan yang menunjukan kekuasaan bahasa yang
ditunjukan dengan adanya bahasa Jawa Kromo lugu yang saya tuturkan dengan
bahasa ngoko yang dikeluarkan oleh supir angkot.
Referensi :
Ali,
Lukman.
1989.Berbahasa
Baik dan Berbahasa Dengan Baik. Bandung: Angkasa.
Komariah,
Siti.
2011.
Bahasa Jawa di Suriname. Surabaya:
Lima-lima Jaya (Anggota IKAPI)
Poedjosoedarmo,
Sopomo.
1979. Tingkat
Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa.
Suwito.
1985.
Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta